Beranda | Artikel
Titian Ilmu (Bagian 5)
Selasa, 8 November 2011

Parasitisme ilmu

Berbagai tujuan yang tidak suci sering mencemari ilmu kita seperti kurangnya keikhlasan, untuk mengejar kesenangan duniawi, ketenaran, pangkat, jabatan, gelar, untuk membodohi orang awam, untuk berbangga dihadapan para ulama, dsb, berikut ini kita singgung sedikit beberapa hal terpenting yang menyebabkan ilmu kita tidak bermanfaat.

Pertama : Berpegang dengan hawa nafsu setelah datangnya ilmu.

Diantara sebab-sebab yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu ialah tidak mengamalkan ilmu itu sendiri, serta masih mendahulukan emosional hawa nafsu, bentuk-bentuk mendahulukan hawa nafsu itu sendiri beragam, Seperti berpegang kepada bukan wahyu ilahi, adakalanya kepada akal semata, atau kepada hawa nafsu, atau kepada mimpi, atau kepada pendapat tuan guru dan pemimpin suatu kelompok tertentu (ta’ashub dan taqlid buta), sekalipun hal itu nyata-nyata bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya, baik yang berhubungan dengan akidah, ibadah maupun dawah dan muamalah.

Hal ini diceritakan oleh Allah dalam Al Quran tetang ulama-ulama orang Yahudi, mereka memiliki ilmu, tetapi ilmu tersebut tidak memberi manfaat kepada diri mereka dalam mengambil kebenaran.

Sebagaiman yang terdapat dalam firman Allah,

{مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً} (الجمعة: 5)

“Perumpamaan orang-orang yang dibebankan kepada mereka Taurat kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa lembaran-lembaran yang tebal.”

Allah mencela orang-orang yahudi karena mereka tidak mengamalkan Taurat yang merupakan ilmu yang dibawa nabi Musa As kepada mereka. Diantaranya adalah mereka tidak mau beriman dengan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang sudah diberitakan tetang kedatangannya dalam kitab mereka Taurat, bahkan mereka mengenal cirri-cirinya lebih dari mengenal ciri anak-anak mereka sendiri, bahkan mereka tidak cukup sampai disitu tetapi mereka sesat lebih jauh lagi dengan merubah isi Taurat itu sendiri sesuai dengan kemauan dan kehendak mereka sendiri.

Contoh lain dalam Al Quran tentang orang yang tidak mengamalkan ilmunya, terdapat dalam firman Allah,

{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ * وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ } (لأعراف: 175-176)

“Dan bacakanlah kepada mereka tentang berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tetang isi Alkitab), kemudian ia berlepas diri dari ayat-ayat itu, lalu syaitan mengikutinya (sampai ia tersesat), maka ia terjerumus menjadi orang-orang yang sesat. Dan jika kami berkehendak, sungguh kami angkat (derajat)nya dengan ayat-ayat tersebut, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya (yang hina).”

Dalam ayat ini Allah mengisah seseorang yang telah diberi ilmu tetang kebenaran yang harus diikutinya, tetapi orang tersebut berpaling dari mengikuti ilmu yang benar tersebut, saat syaitan melihatnya dalam hal demikian,  maka syaitan seketika itu pun ikut mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran itu, lalu syaitan semakin menyesatkannya, akhirnya ia terjerumus kedalam kesesatan yang amat jauh.

Padahal kalau ia mau untuk mengamalkan ilmu dan mengikuti kebenaran yang telah dimilikinya, sesungguhnya Allah akan mengangkat derajatnya dengan kebenaran tersebut, tetapi Allah menghinakannya karena ia terlebih dulu telah menghinakan kebenaran dan membuangnya dibelakang punggungnya, ia lebih mengutamakan kesenangan duniawi dari kesenangan ukhrawi, ia lebih suka mengikuti hawa nafsunya yang sesat lagi hina dari mengikuti hidayah yang berkilau bagaikan cahaya.

Hal ini pulalah yang menimpa sebagian pribadi dan kelompok dalam Islam yang menisbatkan diri mereka kepada pendakwah, terlebih khusus sebagian saudara kita yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk menuntut ilmu Universitas Islam yang tegak diatas Al Quran dan Sunnah menurut pemahaman salafus shaleh, mereka masih mendahulukan hawa nafsunya dan mendahulukan kepetingan duniawi, atau kepentingan kelompoknya diatas kepentingan Allah dan Rasul-Nya.

Betapa banyaknya ayat Al Quran mencegah kita dari mengikuti hawa nafsu setelah jelasnya kebenaran dan setelah datangnya ilmu, karena hal inilah yang menyebabkan melencengnya ahlul kitab dari mengikuti kebenaran.

Diantaranya firman Allah yang mulia:

{قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ} (البقرة: 120)

“Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya, dan jika kamu mengikuiti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang kepadamu (niscaya) Allah tidak lagi menjadi peindung dan penolongmu.”

Maka di awal tahun ajaran baru ini penulis ingin mengingatkan diri serta para ikhwan seluruhnya baik yang baru datang maupun para ikhwan yang lama, mari kita bersama-sama untuk kembali mengintrofeksi diri kita masing-masing dalam hal yang satu ini yaitu jangan kita sampai mendahulukan kepenting duniawi diatas kepenting ukhrawi.

Diantara keutamaan ilmu salaf adalah dekatnya buah ilmu mereka, artinya ilmu mereka tersebut membuahkan amal shaleh, seperti bersikap lembut terhadap sesama makhluk, mencintai kebenaran untuk seluruh makhluk, bukannya bahagia dengan kesalahan orang lain, sedikit berbicara banyak beramal, menimbulkan kekhusyukan dalam beribadah, menimbulkan rasa takut kepada Allah.

Salaf dalam menuntut ilmu lebih banyak mementing buah dari pada mengonggok batang, ibaratkan orang yang berkebun yang penting adalah banyaknya hasil perkebunan, bukan luas dan banyak bibit yang semai, untuk apa banyak pohon yang ditanam tapi tidak satupun yang menghasilkan buah, dan akan lebih baik lagi orang yang punya perkebunan luas dan memiliki hasil panen yang banyak.

Disebutkan dalam pepatah arab: “Ilmu tampa amal bagai pohon yang tidak berbuah.” Dalam pepatah lain: “Petiklah ilmu dengan amal, jika tidak ia akan pergi.”

Diantara buah ilmu adalah membuahkan rasa takut kepada Allah, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya mulia,

 {إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ} (فاطر: 28)

“Sesungguhnya yang palimg takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya adalah para ulama.”

Berkata sebagian salaf: “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah).

Berkata lagi sebagian yang lain: “Barangsiapa yang takut kepada Allah maka ia adalah seorang ‘aloim, dan barangsiapa yang melakukan maksiat kepada Allah maka ia adalah seorang jahil.”

Diantara buah ilmu salaf adalah memberikan kekhusukan kepada mereka dalam beribadah.

Ilmu yang bermanfaat adalah memperkenalkan pemiliknya dengan Rabb-nya dan menunjukan jalan kepada Rabb-nya sehingga ia mengenalnya, mengesakannya dalam segala bentuk ibadahnya, merasa senang dan dekat dengannya, ia menyembaHR.obnya seakan-akan ia melihatNya.

Oleh sebab itu kebanyakan para sahabat berkata: “Sesungguhnya yang pertama sekali diangkat dari tengah-tengah manusia adalah rasa khusuk dalam ibadah.

Berkata Ibnu Mas’ud: ‘kebanyakan orang membaca Al Quran tidak melewati tenggorokannya, dan tetapi jikalau tertamcap dalam hati, ia akan lengket dan bermanfaat.”

Berkata Hasan Al Bashri: “ilmu itu ada dua macam: ilmu diatas lidah, itu adalah hujah Allah diatas anak Adam, ilmu dalam hati, itulah ilmu yang bermanfaat.”

Oleh karena kebanyakan salaf berkata: ‘ulama itu ada tiga golongan: pertama: ‘alim dengan Allah, ‘alim dengan perintah Allah, kedua: ‘alim dengan Allah tetapi tidak ‘alim dengan perintah Allah, ketiga ‘alim dengan perintah Allah tetapi tidak ‘alim dengan Allah. (Fadhlu ilmu salaf: 50).

=Bersambung insya Allah=

Penulis: Ustaz DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com


Artikel asli: https://dzikra.com/parasitisme-ilmu/